
Perdana Menteri Perancis Marah
Sehari itu, suasana di Paris berubah tegang sekaligus menyesakkan hati kaum pengamat. Suara di parlemen menyampaikan pesan berat: Perdana Menteri Perancis François Bayrou harus menyerahkan kursinya setelah kalah dalam pemungutan suara “no-confidence” yang ia sendiri panggil. Angka akhirnya mengejutkan: 364 nol, hanya 194 yang mendukung.
Paris memasuki periode keraguan tiba-tiba; rakyat menyaksikan bagaimana sosok pemerintahan runtuh dalam hitungan jam. Kerumunan sopir, pekerja, dan pelajar bergerak menuju jalan—merasa bangunan kelas menengah berguncang karena keputusan penting itu.
Baca juga: Prabowo Subianto di Beijing: Momen Bersejarah Bersama Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong Un

Ketika Perdana Menteri Perancis di Lengserkan, Ambisi Sopak Tergerus
François Bayrou merancang anggaran yang cukup radikal untuk menekan utang serta mendorong reformasi fiskal. Ia menyampaikan, utang negara akan mengendalikan masa depan jika tidak diatasi. Namun, kepercayaan politik tidak tumbuh dari angkanya saja. Setelah kekalahan suara itu, ia resmi lengser keesokan harinya. Presiden Macron harus menemukan Perdana Menteri Perancis baru—memburu figur yang bisa menyulap izin parlemen menjadi tindakan konkret.
Rakyat Perancis merasakan ketegangan ekstra. Banyak pekerja dan pelajar merencanakan aksi “Block Everything”, protes masif yang bisa memengaruhi transportasi, energi, hingga keseharian. Jalan-jalan kota kini menghadang suara massa yang menuntut kepastian. Pemerintah menyerap gejolak itu, menyiapkan 80.000 pasukan keamanan demi menjaga agar kerusuhan tak mengoyak stabilitas.
Baca juga: Profil Prabowo: Dari Jenderal Hingga Menjadi Presiden Indonesia
Dari Harapan hingga Ketidakpastian: Jejak yang Hilang
Bayrou merujuk pada hutang yang menyedot kebebasan negara. Ia gencar menyampaikan kalau negara harus mengatasi beban itu sekarang, atau menghadapi kehancuran di masa depan. Gestur itu tidak lagi cukup setelah parlemen menolaknya. Pemerintah yang dulu penuh harapan kini jadi simbol dari kegagalan ketidakmampuan membangun kompromi.
Kini, semua tertuju ke Istana Élysée. Presiden Macron harus menunjuk PM baru—sosok yang bisa menyeimbangkan reformasi dan kelangsungan politik di parlemen terpecah. Pilihan seperti Sebastien Lecornu, yang pro-bisnis dan loyal kepada Macron, sedang dipertimbangkan. Ia akan jadi ujung tombak memastikan pembuatan anggaran tahun 2026 berjalan lancar.

Melihat ke Depan: Pasang Surut Demokrasi dan Stabilitas
Sekarang publik bertanya: setelah Perdana Menteri Perancis di Lengserkan, apa langkah berikutnya? Macron bisa memilih untuk kembali merangkul pihak kiri seperti Sosialis demi membentuk dukungan terfragmentasi. Namun, opsi itu berarti meletakkan harapan pada politisi lain yang tak semua memiliki visi sama.
Apa yang terjadi di Perancis tak sekadar soal drama politik semata. Ia memperlihatkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan kemampuan dialog, bukan sekedar dominasi angka di parlemen. Ketika struktur politik goyah, kebijakan penting—bahkan yang demi kebaikan fiskal—bisa punah begitu saja.